* Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus cybercrime
masih terbatas
* Faktor system pembuktian yang menyulitkan para penyidik.
Dari penelitian yang dilakukan, ternyata masih sangat kurang jumlah penyidik yang pernah terlibat dalam penanganan kasus cybercrime (10%), bahkan dari 30 orang responden yang ada, tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime.
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.
* Alat Bukti
- Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau system internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
- Kedudukan saksi korban dalam cybercrime sangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.Penuntut umum juga tidak mau menerima berkas perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Saksi khususnya saksi korban. dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkan kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidangan mengingat jauhnya tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga beresiko terdakwa akan dinyatakan bebas.
Mengingat karakteristik cybercrime, diperlukan aturan khusus terhadap beberapa ketentuan hukum acara untuk cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh Peneliti adalah pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistem program yang disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya. Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:
Untuk
membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam melakukan
aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data
komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik.
Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan
menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini
Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai.
Dan mengenai
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) pasal 27-37 , yaitu:
·
Pasal 28 tentang Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita
Kebencian dan Permusuhan
·
Pasal 30 tentang Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin,
Cracking
·
Pasal 31 tentang Penyadapan, Perubahan, Penghilangan
Informasi
·
Pasal 32 tentang Pemindahan, Perusakan dan Membuka
Informasi Rahasia
·
Pasal 33 tentang Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja
(DOS)
·
Pasal 35 tentang Menjadikan Seolah Dokumen Otentik
(phising)
·
Pasal 36 tentang perbuatan yang dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain
·
Pasal 37 tentang perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia
terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.